JAKARTA - Di antara desir angin laut pantura dan suara azan dari langgar tua di sudut Kota Cirebon, Jawa Barat, Abdul Haris menjahit serpihan waktu yang pernah ia sulam dengan amarah dan keliru, saat menjadi amir (pemimpin) kelompok radikal "Jamaah Ansharut Tauhid" (JAT).
Saat itu, pernah hinggap di benaknya bahwa suara peluru adalah lantunan zikir paling suci dan nyawa orang lain bernilai surga. Di lorong-lorong gelap pikirannya itu, Abdul Haris alias Amir Haris Falah berjalan tanpa cahaya, menggenggam bara yang ia pikir pelita.
Ia melempar jauh cerita ke tahun 1983 yang menjadi awal mula saat berada di bangku SMA kelas dua di bilangan selatan Ibu Kota Jakarta. Bukan pemuka agama, melainkan sosok guru matematika yang kali pertama memenuhi pikiran dan dadanya dengan doktrin-doktrin durja.
Hari-hari Abdul Haris muda pun dipenuhi ajaran yang belakangan ia ketahui menyesatkan. Potongan dalil Al Quran dan hadits ia maknai secara serampangan dan "ugal-ugalan".
BACA JUGA:Kementerian ESDM akan Bangun Jargas di 15 Kabupaten pada 2025 dan 2026
BACA JUGA:Program Sekolah Rakyat Diperkuat, Wali Kota Jambi Fokus Tingkatkan SDM
Pada titik inilah bibit-bibit radikal dalam diri Abdul Haris semakin kokoh bersemayam. Ia melihat orang lain yang mengaku Muslim, tidak dilihat keislamannya. Semua orang seantero negeri dianggapnya kafir karena belum merapalkan dua kalimat syahadat, terutama di hadapan kelompok yang dia ikuti.
Sejak saat itu, panji-panji kelompok jihadis di Indonesia melekat dengannya, sebut saja Negara Islam Indonesia (NII), Mejelis Mujahidin Indonesia (MII), dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), yang ketiganya membawa jargon dan tujuan yang sama, melawan NKRI.
Rentetan demi rentetan aksi teror ia jalani tanpa ragu, seakan setiap tarikan pelatuk senjata adalah bukti kesetiaan. Puncaknya, pada tahun 2010, Amir Haris Falah ikut serta dalam latihan perang militer (i'dad) di Jantho, Aceh. Tak hanya sebagai peserta, ia digadang-gadang sebagai salah satu sumber pendanaan pelatihan.
Semangatnya adalah bagaimana dia harus melakukan satu perjuangan dengan doktrin agama. Dan parahnya, itu bukan antarkelompok, jadi kami menganggapnya perang antara negara dan negara. Seekstrem itu dia dan kawan-kawan memahami agama.
Peristiwa di Jantho, Aceh, itu sekaligus menjadi episode terakhir 30 tahun perjalanannya di lembah yang penuh kebencian. Ia kemudian diringkus aparat Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri dan dikirimnya ke kursi pesakitan.
Pada Mei 2010, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan hukuman 4,5 tahun penjara kepada Abdul Haris karena terbukti melanggar Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Titik Balik
Di balik dinding besi yang dingin, lantunan suara azan mulai berbeda didengarnya. Bukan lagi panggilan perang, melainkan panggilan rindu pada damai.
Jeruji besi menjadi titik balik, sekaligus sarana kontemplasi pikiran dan hati. Ia menyeka buih kebencian berbalut agama dengan air mata penuh penyesalan.