JAKARTA - Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Lamhot Sinaga mendorong pemerintah menyusun regulasi yang dapat menumbuhkan industri perfilman nasional.
Lamhot menyoroti Korea Selatan yang berhasil menjadikan film sebagai sebagai komoditas ekspor utama. Menurut dia, hal itu membutuhkan dukungan serius dari pemerintah, terutama untuk rumah produksi yang masih merintis.
“Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, tentu harus direvisi karena saya yakin saat ini regulasi tersebut tidak mampu sepenuhnya menjawab tantangan yang dihadapi. Sebab, zamannya sudah berubah drastis,” kata dia dalam keterangan diterima di Jakarta, Rabu.
Komisi VII DPR termasuk mengurus bidang perindustrian dan ekonomi kreatif.
BACA JUGA:Ketum Nasdem Akui Dapatkan Vitamin Setelah Bertemu Menhan
BACA JUGA:Marwah Perjuangan, SAH Ingatkan Sumpah dan Janji Kader Gerindra untuk Pegang Amanah Rakyat
Dia menyebut kunci berkembangnya industri film terletak pada kolaborasi kuat antara pemerintah dan insan perfilman. Film semestinya tidak hanya dilihat sebagai hiburan, tetapi juga sebagai alat penting pembangunan sosial, budaya, dan ekonomi.
Selaku pimpinan Komisi VII DPR RI yang bermitra dengan Kementerian Ekonomi Kreatif (Ekraf), Lamhot mengatakan para pemangku kepentingan perlu duduk bersama.
“Agar film lokal menjadi juara dan bisa bersaing di internasional,” katanya.
Menurut dia, perputaran uang dari industri perfilman pada tahun 2024 yang mencapai Rp3,2 triliun dan meningkat sekitar 15 persen dibanding tahun sebelumnya merupakan sinyal positif, terutama sebagai penanda naiknya daya saing film Indonesia.
Kendati begitu, Lamhot menyoroti ketimpangan dan persoalan yang masih ada. Dalam hal ini, ia menyoroti ekosistem film nasional yang belum merata antara rumah produksi besar dan kecil.
Dia menyebut masih ada dominasi segelintir kelompok besar melalui jejaring rumah produksi dan jaringan distribusinya. Situasi demikian dikhawatirkan akan membuat rumah produksi (PH) kecil sulit bersaing di pasar domestik.
“Sejumlah pelaku industri menilai, sistem distribusi dan promosi film di Indonesia masih terpusat pada segelintir pemain besar. Mereka menguasai rantai bisnis mulai dari produksi, promosi, hingga penayangan di bioskop, yang menyebabkan karya dari PH kecil sulit mendapatkan ruang tayang maupun perhatian publik,” katanya.
Maka dari itu, Lamhot menekankan pentingnya pemerataan manfaat industri film agar tidak hanya dinikmati oleh rumah produksi besar di kota-kota besar.
“Produser daerah dan pelaku kecil harus ikut tumbuh, tidak boleh tertinggal,” katanya.