Ciput Eka Purwanti mengatakan kemampuan anak kecil dalam menghadapi rasa tidak nyaman itu berbeda dengan orang dewasa, sehingga mereka akan menjadi tantrum.
"Apa enggak deg-deg-an itu anak. Bayangkan anak anak yang ikut orang tuanya, harus mengalami berada di tengah kerumunan, kesulitan buang air, haus, atau popok-nya penuh. Orang tua sendiri butuh waktu untuk keluar dari kerumunan," katanya.
Saat anak tantrum, orang tua emosi sehingga bisa melakukan kekerasan terhadap anak.
BACA JUGA:Ganjar Janji Akan Prioritaskan Ciptakan Lapangan Kerja dan Stabilkan Harga Bahan Pokok
Kemudian bila melarang anak ikut dalam kampanye, maka umumnya anak akan diasuh oleh ibunya yang membuat sang ibu kehilangan haknya untuk mendapat informasi dalam kegiatan kampanye.
"Jangan sampai karena kita melarang anak ikut, warga sendiri ikut kehilangan haknya untuk mendapat informasi dalam kampanye. Apalagi perempuan pasti yang enggak boleh ikut karena dalam budaya patriarki, dianggap anak ini melekat dengan ibunya," katanya.
Sementara Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sylvana Apituley mengatakan upaya untuk mengarusutamakan hak anak dalam Pemilu, masih merupakan pekerjaan rumah yang sangat besar.
Pasalnya kasus-kasus pelanggaran hak anak dalam Pemilu banyak terjadi, baik yang dilaporkan oleh masyarakat, maupun temuan-temuan KPAI.
BACA JUGA:Sering Ngantuk di Pagi Hari? Ini Dia 10 Cara Menghilangkan Ngantuk di Pagi Hari
Selama satu tahun pengawasan KPAI dalam rangkaian Pemilu 2024, ada enam kasus yang diadukan kepada KPAI, dan 47 kasus temuan KPAI di media sosial.
Menurut dia, dari sejumlah kasus itu, ada 15 bentuk pelanggaran hak anak selama Pemilu.
"Kami menemukan ada pengulangan pelanggaran, juga ada pelanggaran yang baru," katanya. *