Beda dengan Pilpres. Juaranya akan menjadi presiden sebuah republik besar. Sang juara menentukan nasib 270 juta rakyat Indonesia. Maka dalam ”lomba balap” presiden menjadi juara bukanlah tujuan utama. Yang terpenting adalah: mau apa setelah jadi juara.
BACA JUGA:Harga Cabai Tembus Rp 85 Ribu
BACA JUGA:Polda Jambi Segera Tetapkan Tersangka Baru, Terkait Pembunuhan Santri Tebo
Para calon presiden punya gagasan besar di balik keinginannya memenangkan maraton. Gagasan besar itu yang terangkum dalam sebuah ambisi. Etika dianggap menghambat ambisi. Bahkan lebih dari etika: hukum pun dilanggar demi ambisi itu.
Mereka yang punya gagasan besar itu pasti punya alasan pembenar: mengapa etika dikalahkan. Mengapa hukum dilanggar. Alasan itu sering dibungkus dalam kemasan yang indah: demi kepentingan umum. Demi kemajuan. Demi kepentingan yang lebih besar. Demi negara.
Maka membunuh PKI, bagi mereka, satu keharusan. Membunuh preman dianggap jalan pintas. Melakukan revolusi itu apa boleh buat. Kudeta pun punya pembenarannya sendiri.
Sial kita saja: kalau semua pelanggaran etika dan hukum itu mereka lakukan ternyata kepentingan umumnya tetap nol. Kemajuan bangsanya tidak nyata. (DAHLAN ISKAN)