Juri Hamil

Dahlan iskan--

BACA JUGA:Atasi Kemiskinan, Menteri Sosial Rilis Pahlawan Ekonomi Nusantara (PENA) Muda

Gedung pengadilan ini memang di pusat kota. Sambil menunggu John isa juga saya  jalan-jalan di downtown. 

Menunggu sepanjang hari pun tidak masalah. Istilah 'menunggu itu membosankan' sudah harus dihapus sejak ada smartphone. Apalagi kalau paketnya tidak nyicil. 

Bangunan pengadilan ini sudah model baru. Satu lantai. Di belakang gedung asli. Gedung tuanya, yang masih anggun, dipertahankan sebagai bangunan bersejarah. 

Dari tempat parkir John menuju pintu utama. Saya berjalan di belakangnya. Spekulasi. Siapa tahu boleh ikut masuk.  

BACA JUGA:Sambut Delegasi Norwegia, Sri Mulyani Tekankan Pentingnya Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup

BACA JUGA:Kemenhub dan Kemenkeu Sepakati Kolaborasi Pertukaran Informasi Transportasi Laut

Setelah melewati pintu ganda, barang bawaan harus masuk mesin detektor. 

John harus balik ke mobil. Ia membawa pisau lipat kecil yang tidak lolos detektor. 

Saya ditinggal di situ. Saya ngobrol dengan tiga petugas jaga: dua kulit putih seperti sosok di di film cowboy, satu kulit hitam kekar. 

Saya perkenalkan diri: dari Indonesia, steman calon juri yang akan diwawancara. Mereka menyambut baik. Boleh masuk. Diminta duduk di kursi panjang di koridor dalam.  

BACA JUGA:Resep Ayam Tuturuga, Hidangan Spesial Khas Manado

BACA JUGA:Nyaman di Rumah, 3 Zodiak Ini Tidak Suka Keluar di Malam Hari

Saya pun duduk di situ. Lorong ini lebar. Sekitar 6 meter. Tidak terasa sebagai lorong. Beberapa kursi panjang ada di kiri lorong. Kanannya kosong. Banyak display di dinding kanan: termasuk jejeran foto-foto  anggota asosiasi pengacara di wilayah itu.  

Saya pun berdiri. Pilih lihat-lihat display itu. Lalu mengintip sana-sini. Di kanan-kiri lorong ada beberapa pintu. Itulah pintu masuk ruang-ruang sidang pengadilan. Salah satunya lebih besar. Susunannya mirip yang di ruang pengadilan Presiden Trump di New York yang pernah saya lihat. 

Tag
Share