Pikul Lumpia
Dahlan iskan--
Sembahyang berjamaah itu tidak pakai imam. Ketua kelenteng berdiri di tengah. Di barisan depan. Saya diminta juga di saf depan. Saya lirik kanan kiri agar tidak ada gerakan yang salah.
"Imam" di sembahyang itu adalah penata ibadah. Semacam MC. Gerakan sembahyangnya mengikuti komando MC dari pengeras suara –dalam bahasa Tionghoa.
BACA JUGA:Maroko U-23 Pesta Gol 6-0 atas Mesir, Amankan Perunggu di Olimpiade 2024
BACA JUGA:Angga Rafi Dijatuhi 1,5 Tahun Penjara atas Perusakan Kantor Gubernur Jambi
Sembahyang diawali dengan pembagian hio. Ukuran sebesar pensil. Bukan yang seukuran lidi. Masing-masing tiga hio.
Ini bukan kali pertama saya pegang hio. Ujungnya sudah membara. Saya pun menerimanya dengan cara biasa: memegang bagian bawahnya. Ups... Aduh! Panas!
Hampir saja hio terlepas. Ternyata hio itu dibakar di dua sisinya. Jari saya memegang api itu!
Saya tahan rasa sakit. Saya jaga wajah untuk tetap tersenyum. Baru sekali ini saya tahu ada hio dibakar dua ujungnya.
BACA JUGA:Pemkot Jambi Siap Raup Rp 160 Miliar dari Opsen Kendaraan Bermotor di Tahun 2025
BACA JUGA:Manfaat Mandi Malam untuk Kesehatan
Setelah tiga kali diangguk-anggukkan, hio itu diambil petugas sembahyang. Ditancapkan di bejana abu. Asap mengepul. Bersatu dengan asap-asap dari berbagai bejana lainnya.
Komando MC selanjutnya: gerakan sujud. Maka, semua lutut bertumpu di bantal. Lalu, ada komando untuk sujud tiga kali. Sujudnya seperti salat, tapi dahi tidak sampai menyentuh tanah.
Lalu berdiri. Rakaat pertama selesai. Diteruskan dengan rakaat kedua dan ketiga. Dengan gerakan yang sama. MC pun menutup sembahyang dengan doa dalam bahasa Indonesia. Doa untuk hidup tenang, rukun, dan banyak rezeki.
Satu jam kemudian, pukul 20.00, sembahyang serupa dilakukan lagi di dalam kelenteng. Di depan altar dewa-dewa. Termasuk Dewa Cheng Ho. Juga, dewa dari kelenteng-kelenteng lain.
BACA JUGA:OJK Merilis Peta Jalan Penguatan Teknologi untuk Aset Keuangan Digital dan Kripto 2024-2028