Industri Kretek Nasional Terancam Oleh PP 28/2024, Kata GAPPRI

rokok menempel pita cukai di salah satu pabrik rokok.-ilustrasi -

Jakarta, JAMBIKORAN.COM – Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menyuarakan keprihatinannya terhadap dampak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.

Dalam pernyataannya, GAPPRI menyebutkan bahwa peraturan ini dapat mengancam keberlangsungan industri kretek nasional serta kedaulatan negara.

Menurut Ketua Umum GAPPRI Henry Najoan, PP 28/2024, yang mengatur pengamanan zat adiktif dalam Pasal 429– 463, berpotensi menimbulkan efek ganda yang merugikan industri kretek legal.

Henry dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, mencontohkan Pasal 435 yang berbunyi “Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau dan rokok elektronik harus memenuhi standardisasi kemasan yang terdiri atas desain dan tulisan”.

BACA JUGA:Konsumsi 5 Buah Ini Bisa Menjaga Kesehatan Rambut dan Kulit

BACA JUGA:Miliki Layar Lebar, Cek Spesifikasi Redmi 14C yang Baru Launching Secara Global, Ini Kelebihannya


Pihaknya mensinyalir Pasal 435 adalah titipan untuk menuju kemasan polos yang sudah lama jadi misi kelompok anti tembakau yang memberikan tekanan pada pemerintah untuk meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

"Perlu dicatat, negara yang mempunyai industri rokok yang besar seperti Amerika Serikat, Swiss, Kuba, Argentina, dan lain-lain secara gamblang menolak diintervensi dalam mengatur industri tembakau di negaranya masing-masing," katanya.

Merujuk kajian GAPPRI, proses penyusunan PP 28/2024 sejak awal sudah menuai polemik, karena tidak transparan dan tanpa partisipasi masyarakat serta pemangku kepentingan.

Menurut dia upaya pemerintah memperketat regulasi dengan memberlakukan PP 28/2024 khususnya Pasal 429 - 463 selain mematikan pabrik rokok kretek legal, dampak sosialnya juga bertambah.

BACA JUGA:Admin Medsos Berusia 19 Tahun Ditangkap Polisi Karena Promosikan Situs Judi Online

BACA JUGA:Cara Menurunkan Asam Urat


Penyerapan tembakau dan cengkeh dalam negeri akan menurun tajam serta dampak negatif sangat besar bagi kesejahteraan petani tembakau, cengkeh, pekerja logistik, pedagang dalam negeri dan kehilangan nafkah di sepanjang mata rantai nilai industri kretek legal nasional.

Dikatakannya, industri kretek legal nasional sudah dalam kondisi rentan yang terlihat dari turunnya jumlah pabrik dari 4.000 di 2007 menjadi 1.100 pabrik di 2022.

"Pemerintah perlu bersiap untuk menghadapi gelombang pengangguran besar yang akan memberikan konsekuensi ekonomi maupun sosial," ujarnya.

Negara, tambahnya, juga akan kehilangan penerimaan dari cukai hasil tembakau (CHT) konvensional yang sangat besar, dan akan dibarengi dengan massifnya peredaran rokok ilegal.

BACA JUGA:Bank Jambi Kembali Raih Penghargaan dari Infobank

BACA JUGA:Diduga Sudah Meninggal Sejak Tiga hari Penemuan Jasad Wanita di Kota Jambi


GAPPRI juga mencatat, PP 28/2024 disinyalir melanggar Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang penghormatan hak ekonomi, sosial, budaya (ekosob) warga negara dengan masing-masing profesinya.

Selain itu, PP 28/2024 ruang lingkupnya lebih mewakili agenda FCTC daripada melindungi kemaslahatan asosiasi petani, serikat pekerja, asosiasi ritel, pelaku usaha, asosiasi industri tembakau.

Dalam kasus PP 28/2024, lanjutnya, di luar kesehatan, pemerintah semestinya mempertimbangkan aspek lain seperti kesejahteraan rakyat, penyerapan tenaga kerja, keberlangsungan hidup petani tembakau, dan kontinuitas sektor industri kretek legal nasional, hingga penerimaan negara.

Dikatakannya, kedaulatan negara yang diwujudkan dalam kemandirian pemerintah selayaknya secara mandiri mengambil kebijakan yang dibutuhkan, sebab pemerintah Indonesia lah yang paling tahu kondisi Indonesia. Bukan pemerintah negara lain, terlebih lagi LSM dari luar negeri.

BACA JUGA:Manfaat Pare untuk Kesehatan

Tag
Share