Gajah RK
Dahlan iskan--
Sebelum tsunami harga tanah di sini Rp 30.000/m2. "Sekarang Rp 2 juta/m2," ujar Pak Aky yang menemani saya makan siang kemarin.
Nama lengkapnya Kho Khie Siong. Ia ketua suku Hakka di Aceh. Sebanyak 99 persen warga Tionghoa Aceh bersuku Hakka.
Ia juga ketua barongsai yang sukses: Aceh dapat dua medali emas barongsai di PON barusan –di samping enam medali lainnya.
Yang dimaksud harga tanah ''di sini'' adalah di dekat rumah makan Hasan 2, di jalan kembar menuju bandara Banda Aceh.
BACA JUGA:Murka saat Tahu Hasil Visum
BACA JUGA:Siagakan 15 Ribu Personel Pengamanan Saat Pengambilan Sumpah Presiden
Di situlah saya makan siang: ayam tangkap, daging lembu, dan sie kameng –artinya: daging kambing yang di masak gule. Sedikit berkuah.
Itu sudah sedikit di luar kota Banda Aceh. Sudah di kabupaten Aceh Besar. Ada keinginan agar wilayah kota diperluas sampai di sini tapi belum dapat persetujuan.
Harga tanah di dalam kota meningkatnya lebih drastis. Dengan lipatan lebih banyak lagi.
Banda Aceh sudah bukan kota sebelum tsunami. Berubah drastis. Jauh lebih maju. Lebih ramai. Lebih tertata. Lebih bersih. Banyak jalan baru. Atau jalan yang diperluas.
Dan, yang jelas, sudah banyak warung kopi. Saking banyaknya sampai Banda Aceh layak disebut sebagai kota ''seribu warkop''. Atau dua ribu. Datanglah ke Banda Aceh. Hitung sendiri.
Saya ke warkop-warkop itu. Minum kopi apa saja. Termasuk kopi terenak yang disebut syr sanger.
Lalu saya memanfaatkan waktu ke Museum Tsunami. Maafkan, begitu sering saya ke Aceh tapi baru kali ini ke museum itu. Sangat telat. Setelah umur museum 15 tahun –diresmikan Presiden SBY tahun 2009.
Begitu sampai di depan museum saya langsung mengagumi desain bangunan ini. Simple tapi mengesankan. Modern tapi klasik.
Jalan masuk museum itu berbentuk lorong. Menurun. Agak gelap. Kanan kiri lorong berupa air dalam kaca yang berombak. Berada di lorong ini seperti berada di dalam laut.
Susana di dalam air itu lebih diperkuat oleh suara gelombang laut di lorong gelap itu. Apalagi saat kita menuruni lorong: rintik-rintik air jatuh dari atas. Seperti gerimis. Menjatuhi kepala dan bahu kita. Rambut sedikit basah.
Inilah lorong masuk yang membuat kesan pertama menjadi dramatis. Ada unsur ngeri dan mengharukan.
Lorong itu, kegelapan itu, air di kanan kiri itu, gerimis pakai air sungguhan itu, adalah bagian yang harus dipuji dari desain museum.
Anda sudah tahu: yang mendesainnya adalah arsitek dalam negeri, asal Bandung, lulusan ITB: Ridwan Kamil. Begitu kaya imajinasinya.
Bagian lain yang juga mengagumkan dari desain museum ini adalah kolam di lantai dasarnya. Nyaris seluas lantainya. Berbentuk oval. Seirama dengan keovalan bentuk keseluruhan museum.
Kolam air itu tidak dalam. Tapi ada ikannya. Pengunjung museum boleh menaburkan makanan ikan ke kolam. Makanan disediakan oleh petugas. Tinggal bayar Rp 5.000/orang.
Tentu ada display foto-foto tsunami. Banyak sekali. Juga ruang video layar lebar: memutar video terjadinya tsunami. Berarti video itu sudah diputar ribuan kali selama 15 tahun. Rasanya video itu sudah waktunya diedit lagi. Disesuaikan dengan waktu. Semakin jauh waktu dari saat terjadinya tsunami kesan terhadap video tersebut semakin kurang dramatis. Harus diubah.
Maka perlu ada editing agar sesuai dengan penonton masa kini.
Yang juga unik di museum ini adalah satu ruang di lantai atas: ruang gajah. Tema di ruang ini: peranan gajah dalam rehabilitasi tsunami Aceh.