Gen Z dan Kemandirian Mutlak

-Ist/Jambi Independent-Jambi Independent
Di era serba praktis dan digital, Gen Z adalah mereka yang lahir antara akhir 1990-an hingga awal 2010-an, terlihat lebih mandiri daripada generasi sebelumnya.
Mereka tidak ragu mencari jawaban melalui layar gadget, mencukupi diri secara mandiri, dan meneguhkan diri sebagai pribadi yang tangguh. Namun, benarkah kemandirian tanpa batas ini memperkuat atau malah meningkatkan kesejahteraan mereka?
Gen Z dikenal sebagai digital natives yang lahir dan tumbuh bersama internet serta smartphone. Teknologi memudahkan mereka belajar hal-hal baru, mulai dari memasak hingga permasalahan psikologis, tanpa harus bergantung pada orang lain.
Kemandirian ini nampaknya ideal, namun ketika keterbukaan digantikan oleh keharusan menyelesaikan segala sesuatunya sendiri, muncullah istilah hyper independence.
BACA JUGA:Langkah-langkah Jadi Copywriter, UI/UX Designer, atau Content Creator
BACA JUGA:Kulit dan Rambut Halus dan Lembut, Dengan Jeruk Nipis Campur Mentimun
Kemandirian Gen Z tumbuh di pinggiran kota di tengah tekanan sosial dan ekspektasi tinggi. Jika generasi sebelumnya lebih santai menjalani proses, Gen Z menghadapi tekanan untuk selalu tampil sempurna, baik di media sosial maupun kehidupan nyata.
Ditambah budaya self-diagnosis, mereka terpacu untuk menjadi mandiri secara mental, meskipun kemampuan sosial dan emosional belum sepenuhnya matang.
Bagaimana Dampak Psikologis yang Muncul? Ketika terburu-buru menjadi mandiri, tanpa kesiapan untuk menjalin hubungan yang sehat, dapat mengundang risiko antara lain:
Kelelahan dan Burnout : Mereka memikul tanggung jawab jawab sendirian, sulit mendelegasikan, dan kelelahan mental pun sering datang tanpa sempat istirahat.
Isolasi Sosial : Gen Z yang sering memilih solusi melalui tutorial daripada bertanya langsung bisa kehilangan kemampuan berinteraksi, merasa terasing, atau kesepian.
Krisis Identitas : Terjebak dalam kejadian tanpa henti di media sosial membuat mereka tidak boleh menunjukkan kelemahan, hingga tidak mengenali dirinya sendiri.
Tekanan Ekspektasi dan Performa : Rasa harus tampil sempurna, cepat mengejar hasil dalam studi atau karier, berisiko memicu kecemasan dan stres berkepanjangan
Untuk mencapai keseimbangan, Gen Z membutuhkan
Literasi Digital dan Literasi Emosional: agar media sosial tidak menjadi jebakan dan self-diagnosis tetap proporsional.
Interaksi Tatap Muka dan Dukungan Sosial: orang tua, guru, atau teman perlu hadir sebagai tempat berbagi dan belajar mendelegasikan beban.
Pendidikan Kesehatan Mental: memahami bahwa meminta bantuan bukanlah kelemahan, tetapi bagian dari ketangguhan sejati.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di perkotaan besar. Di dunia akademis, Gen Z menjalani standar tinggi dalam studi dan logika karir, sehingga tekanan kinerja menjadi nyata. Dalam kehidupan pribadi, kecenderungan untuk menghindari ketergantungan emosional membuat mereka kesepian dan tidur terbatas.(*)