Pabrik peleburan milik PT Timah (BUMN) tidak berani menerima bahan baku dari kolektor.
BACA JUGA:Mukti Tegaskan Pemkab Merangin Tak Tinggal Diam
BACA JUGA:Stok Kebutuhan Pokok Aman Beberapa Bulan ke Depan
Penyebabnya Anda sudah tahu: kolektor tidak akan bisa menunjukkan dokumen asal usul barang. Dari mana. Dari tambangnya siapa. Izin tambangnya mana.
Tanpa bertanya pun PT Timah sebenarnya tahu: barang itu diambil dari lokasi tambang PT Timah sendiri.
Begitulah. Maka produksi timah swasta lebih besar daripada PT Timah. Setidaknya dalam rasio antara luas tambang dan hasil produksi.
Penambang rakyat juga selalu terombang-ambing. Kalau lagi ada masalah begini mereka memang tidak ditangkap tapi ikut mati.
BACA JUGA:Ketua Dekranasda Muaro Jambi Rangkul UMKM, Faradillah Bachyuni : Tingkatkan Daya Saing
BACA JUGA:Minta Taman PKK Muara Sabak Diperbaiki
Matinya bisa lama bisa juga sebentar. Kalau masalah hukum sudah reda mereka hidup lagi. Sampai ada masalah hukum berikutnya. Berulang terus begitu.
Maka tokoh-tokoh Bangka Belitung mencoba mencari jalan keluar. Mereka melihat masih ada lahan 6.500 hektare yang mengandung timah yang masih belum bertuan.
Lokasinya di Belitung Timur. Ahok rasanya ikut mendukung usulan ini. Dulu sekali.
Tanpa ada persetujuan itu maka di Bangka Belitung akan tetap ada tiga kategori tambang: N, NK, dan IK.
BACA JUGA:Bologna Pecundangi Napoli dengan Skor 2-0
BACA JUGA:Chelsea Akhiri Musim dengan Kemenangan Tipis atas Nottingham Forest
Tiga istilah itu datangnya dari rakyat di sana: tambang konvensional, non konvensional dan inkonvensional. Itu merujuk pada yang resmi, setengah resmi dan tidak resmi.