JAMBIKORAN.COM - Seorang pria bernama Yousuf Abu Rabea yang merupakan seorang petani memulai pertanian di atap rumah sambil mempersiapkan lahan pertaniannya yang rusak akibat perang di tengah berbagai kesulitan yang dihadapinya.
"Sayuran, buah-buahan, daging, dan bahkan makanan kaleng yang biasa kami terima sebagai bantuan kemanusiaan sudah habis di pasar-pasar setempat," kata pria berusia 24 tahun dari Beit Lahia, Jalur Gaza utara itu kepada Xinhua.
Upayanya itu dianggap berisiko tinggi karena serangan udara yang tak terduga, kekeringan, dan kurangnya pasokan pupuk di bawah blokade ketat Israel bisa merusak segala upaya yang dilakukan untuk memproduksi sayuran guna memberi makan warga setempat yang kelaparan.
Warga Palestina yang mengungsi akibat konflik yang masih berlangsung terbiasa hidup dalam keadaan kekurangan.
BACA JUGA:Pierre Emile Hojbjerg Gabung Marseille sebagai Pemain Pinjaman
BACA JUGA:Ini Dia Spesifikasi Infinix Note 40S yang Resmi Dijual di Indonesia, Yuk Simak
Bagi Yousuf, keputusan untuk melanjutkan pertaniannya muncul setelah mengetahui bahwa tiga tetangganya meninggal dunia karena kelaparan.
Khawatir keluarganya akan mengalami nasib yang sama, Yousuf mulai membersihkan atap rumah untuk membuat petak tanaman pertamanya setelah tentara Israel mengizinkan dirinya dan warga pengungsi lainnya untuk kembali ke kota mereka.
Bahkan benih yang baik pun langka. Yousuf mengatakan bahwa dirinya membajak lahan-lahan yang ditinggalkan dan berhasil "mengumpulkan benih paprika hijau, terong, selada air, dan tanaman lainnya yang tumbuh cepat dan mudah ditanam."
Tantangan demi tantangan terus berdatangan. Tanah yang subur rusak akibat konflik atau dijadikan tempat untuk membangun tenda-tenda bagi para pengungsi.
BACA JUGA:Simak! Cara Menghitung BMI Wanita Ideal Dengan Benar
BACA JUGA:Simak! Ini Dia Gejala dan Cara Mengatasi Anak Kena Diabetes
Sekitar 63 persen lahan tanaman permanen di Gaza telah rusak, menurut statistik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Juli.
Lebih buruk lagi, daerah kantong pesisir yang terkepung tersebut menghadapi kekurangan air.
Sekitar 67 persen fasilitas air dan sanitasi telah hancur atau rusak akibat aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan konflik, tunjuk statistik PBB pada Juni.