SEMARANG - Film Gowok: Kamasutra Jawa garapan Hanung Bramantyo telah menarik perhatian publik sejak tayang perdana di International Film Festival Rotterdam (IFFR) 2025. Film ini memicu diskusi hangat di media sosial mengenai tema cinta, budaya, dan tradisi Jawa kuno yang kontroversial.
Gowok mengangkat tradisi gowok, yaitu praktik pendidikan seksual oleh dukun perempuan untuk calon pengantin pria pada era 1955 hingga 1965. Bagi sebagian orang, tradisi ini dianggap tabu dan vulgar, namun film ini berusaha menunjukkan sisi humanis dan filosofi yang terkandung dalam tradisi tersebut, termasuk makna cinta dan tanggung jawab dalam hubungan.
Sutradara Hanung Bramantyo menjelaskan bahwa film ini bukan sekadar menjual sensasi. “Kami ingin memperlihatkan sisi humanis dari tradisi yang sering disalahpahami,” ujarnya. Dengan latar budaya Jawa yang kental, Gowok menyajikan kisah romansa yang kompleks, dibintangi oleh Reza Rahadian, Raihaanun, dan Lola Amaria yang berhasil memberikan akting memukau.
Hanung juga menyampaikan bahwa film ini menggali nilai filosofis dari tradisi gowok, seperti pentingnya pengendalian diri dan penghormatan terhadap pasangan dalam hubungan. Meskipun demikian, film ini telah memicu kontroversi di kalangan warganet, terutama di platform X.
BACA JUGA:Ajarkan Internet Safety Sejak Dini, Tips agar Anak Lebih Waspada di Dunia Digital
BACA JUGA:Kebiasaan Orangtua yang Bisa Menurunkan Kecerdasan Anak
Beberapa pengguna media sosial memberikan tanggapan positif, seperti akun @De9 yang menulis, “Gowok itu bukan cuma soal seks, tapi ngajarin cowok untuk menjadi buah hati yang dewasa. Filosofis banget!” Namun, tidak sedikit pula yang kurang setuju dengan tema yang diangkat, seperti akun @gent*****i yang berkomentar, “Tabu yang bikin orang modern geleng-geleng kepala.” Bahkan, pengguna @firmaz menyebutkan, “Ini film horor apa film bokep?”
Film Gowok jelas menciptakan polarisasi di antara penonton, namun hal ini justru membuka ruang untuk diskusi lebih dalam mengenai budaya, tradisi, dan perspektif terhadap pendidikan seksual di masyarakat. Kontroversi yang ditimbulkan semakin mempertegas bahwa film ini bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga karya seni yang mengundang refleksi dan pemikiran kritis. (*)