JAMBIKORAN.COM - Konflik antara Israel dan Hamas yang berlangsung sejak Oktober lalu membuat layanan publik di kota paling selatan di wilayah kantong Palestina itu terhenti.
Itu membuat Emad Adul Rahman (45) yang merupakan ayah empat anak di Rafah, Gaza selatan harus berjalan kaki sejauh 2 kilometer hanya untuk membuang sampah di rumahnya.
"Selama berbulan-bulan kami tidak mendapatkan layanan apa pun ... sampah dan limbah menumpuk di sebagian besar area kami," ungkap Rahman.
Datangnya musim panas semakin memperburuk masalah ini, karena peningkatan suhu akan memperparah bau timbunan sampah.
BACA JUGA:BI Sebut Utang Luar Negeri Terkendali
BACA JUGA:Respons Negatif Tensi di Timur Tengah Dari Pasar Saham
Hal tersebut membuat kota padat penduduk itu terpaksa menampung lebih dari 1,5 juta pengungsi, yang membuatnya semakin tidak layak huni.
Jalanan kota yang dipenuhi puing-puing menjadi sarang penyakit. Anak-anak, yang tidak menyadari bahaya, bermain di antara sampah, sementara bau busuk yang merajalela menembus hingga kamp-kamp pengungsi.
Untuk mengatasinya, penduduk pun membakar sampah, yang semakin menambah polusi udara.
Kondisi ini bahkan lebih parah bagi Samah al-Hajj (39), warga Rafah yang baru saja diamputasi.
Ibu tiga anak itu, yang kehilangan suami dan dua anaknya dalam serangan udara Israel, kini menghadapi tantangan tambahan untuk mengelola sampah dengan disabilitasnya.
BACA JUGA:Menteri ESDM Tegaskan Pasokan Migas Aman Di tengah konflik Iran-Israel
"Saya tidak bisa membuang sampah dengan mudah," ujar al-Hajj, yang kondisinya kian parah dengan sampah yang mengepung rumahnya.
"Anak-anak saya terjangkit berbagai penyakit ... semua dokter mengatakan bahwa saya harus tinggal jauh dari sampah, tetapi saya tidak punya tempat tinggal lain," ungkap Rahman.