Usul RUU KUHAP Atur Penjemputan Paksa Wajib Izin PN, Mahasiswa Trisaksi : Melindungi Hak Warga Negara

USULAN : Suasana saat RDP di DPR RI. Mahasiswa Trisakti usul agar RUU KUHP atur penjemutan paksa wajib izin PN.-IST/Jambi Independent-Jambi Independent

JAMBI- Organisasi mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas Trisaksi mengusulkan agar tindakan penjemputan paksa yang dilakukan oleh penyidik terhadap tersangka atau saksi harus memperoleh izin dari Ketua Pengadilan Negeri (PN) setempat, untuk dimasukkan ke dalam revisi Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP.

Perwakilan mahasiswa Universitas Trisakti, Wildan Arif Husen mengatakan hal itu perlu diatur agar melindungi hak-hak bagi warga negara. Karena pada praktiknya, dia menilai seseorang yang dijemput secara paksa itu belum tentu otomatis menjadi tersangka.

"Mungkin dalam praktiknya sedikit kesulitan, karena mungkin terlalu lama dari segi administrasi tapi kami juga melihat dari segi hak kami atau hak warga negara," kata Wildan saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu.

Dia menjelaskan, dalam draf RUU yang ada, penjemputan paksa bisa dilakukan jika tersangka atau saksi yang dipanggil tidak datang dalam pemeriksaan. Selain itu, penyidik juga bisa menjemput paksa jika tersangka atau saksi menghindar dari pemeriksaan.

BACA JUGA:Istana Minta Arsip Kewilayahan Dirapikan, Untuk Antisipasi Sengketa

BACA JUGA:Bawaslu Sulsel Serahkan Alat Bukti ke MK, Hadapi Sengketa PSU Palopo

Namun, dia mengusulkan ada penambahan pasal pada draf RUU KUHAP di Pasal 30. Dari yang semula terdapat dua ayat, dia mengusulkan agar kewajiban izin dari Ketua PN itu dimasukkan menjadi ayat ketiga.

"Hal ini juga bertujuan untuk menjaga kontrol yudisial dan juga tindakan represif yang kerap kali dilakukan oleh pihak khususnya aparatur penegak hukum terhadap mahasiswa," katanya.

Selain itu, dia mengatakan bahwa usulan tersebut demi menjamin bahwa tindakan dari penyidik khususnya dalam proses penyidikan seperti penggeledahan, penyitaan, penjemputan paksa, harus mempertimbangkan prinsip perlindungan saksi dan korban.

"Penggeledahan, penyitaan atau upaya paksa berupa penjemputan yang kerap kali tidak sesuai dengan jam kerja," katanya. (*)

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan