Penemuan Kasus TBC di Muaro Jambi Masih Rendah: Ancam Ekonomi dan mempengaruhi pembangunan manusia

dr. Ariany Widiastuty-Foto : Ist-Jambi Independent

OPINI

By : dr. Ariany Widiastuty

Mahasiswa S2 Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia Maju Jakarta

 

Tuberkulosis (TBC) masih menjadi salah satu penyakit menular paling mematikan di dunia dan di Indonesia. Laporan WHO Global TB Report 2023 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan beban TBC terbesar kedua di dunia, dengan estimasi lebih dari 1 juta kasus setiap tahun. Namun cakupan penemuan nasional masih berada pada angka 63–65%, sehingga sepertiga pasien tidak tercatat dan tetap menularkan penyakitnya. Kondisi ini juga tercermin di Provinsi Jambi, dengan capaian penemuan kasus hanya sekitar 43–45% menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jambi tahun 2023.

Kabupaten Muaro Jambi menghadapi situasi yang sama. Berdasarkan Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB) Kementerian Kesehatan RI, capaian penemuan kasus TBC selama tiga tahun terakhir menunjukkan tren stagnan dan jauh dari target. Tahun 2022 dari 1.221 target kasus hanya ditemukan 452 kasus (37%). Tahun 2023 meningkat  sedikit menjadi 567 dari 1.457 kasus (38,9%), dan pada tahun 2024 turun menjadi 419 dari 1.075 kasus (39%). Artinya, lebih dari 60% kasus TBC di Muaro Jambi tidak ditemukan setiap tahunnya. Padahal seperti disampaikan pakar paru nasional dari PDPI, Prof. Dr. dr. Erlina Burhan, M.Sc., Sp.P(K), bahwa “TBC hanya berhenti menular ketika pasien ditemukan dan diobati.”

Jika dibandingkan dengan Petunjuk Teknis Nasional Penanggulangan TBC 2023, masih tampak beberapa kesenjangan implementasi. Pertama, Active Case Finding (penemuan aktif) belum menjangkau lokasi-lokasi risiko tinggi seperti pondok kerja perkebunan, kawasan padat penduduk, pesantren, pabrik, dan sekolah sebagaimana diwajibkan Juknis. Kedua, jejaring fasilitas layanan belum dimanfaatkan optimal. Klinik swasta, dokter praktik, dan fasilitas non-pemerintah masih minim melakukan pelaporan secara rutin ke SITB. Ketiga, stigma dan literasi kesehatan menjadi hambatan besar. Penelitian Sari et al. (2022) dan Wulandari et al. (2021) menunjukkan bahwa masyarakat enggan memeriksakan diri karena takut dikucilkan. Kondisi yang sama terjadi di Muaro Jambi, terutama pada kelompok masyarakat dengan mobilitas tinggi dan pekerja perkebunan. Keempat, cakupan Terapi Pencegahan TBC (TPT) bagi kontak erat masih rendah, sehingga peluang mencegah kasus baru belum optimal.

BACA JUGA:Bahaya Multitasking Bagi Kesehatan Mental dan Performa Kerja

BACA JUGA:Kecelakaan Tunggal di Batang Merangin, Satu Mobil Masuk Jurang

Namun, persoalan TBC bukan hanya soal kesehatan. TBC membebani ekonomi keluarga, produktivitas tenaga kerja, dan anggaran daerah. WHO (2022) menyatakan bahwa pasien TBC rata-rata kehilangan 20–40% pendapatan rumah tangga selama masa pengobatan akibat menurunnya kemampuan bekerja. Di Muaro Jambi, di mana sebagian besar penduduk bekerja di sektor informal seperti perkebunan, dampak ini sangat terasa. Ketika seorang kepala keluarga sakit, seluruh sumber pendapatan rumah tangga dapat hilang. Anak-anak terancam putus sekolah, dan beban ekonomi rumah tangga melonjak drastis.

Dari sisi negara dan daerah, TBC juga menimbulkan beban anggaran signifikan. Estimasi Kemenkes RI menyebutkan bahwa satu pasien TBC memerlukan biaya pengobatan, pemeriksaan laboratorium, pendampingan, dan tracing yang secara total mencapai Rp 7–10 juta per kasus. Artinya, ketika lebih dari 60% kasus tidak ditemukan di Muaro Jambi, daerah sebenarnya kehilangan kesempatan mengendalikan penularan dan justru menanggung biaya tinggi secara berulang setiap tahun. Ini menciptakan lingkaran biaya yang sia-sia: semakin rendah penemuan, semakin besar beban ekonomi daerah.

Indonesia sebenarnya memiliki kerangka kebijakan yang kuat melalui Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis yang menargetkan eliminasi TBC pada 2030. Target nasionalnya jelas: penemuan kasus minimal 90%, keberhasilan pengobatan 95%, dan penurunan angka kejadian hingga kurang dari 65 kasus per 100.000 penduduk. Perpres ini diperkuat strategi nasional seperti imunisasi BCG, surveilans SITB, gerakan TOSS-TBC (Temukan, Obati Sampai Sembuh), pemberian TPT, serta penguatan fasilitas kesehatan. Namun capaian Muaro Jambi yang masih stagnan pada angka 37–39% menunjukkan bahwa regulasi kuat saja belum cukup implementasi di lapangan yang harus diperkuat.

Dalam konteks opini ini, target utamanya adalah pemangku kebijakan daerah,  Bupati, DPRD, Dinas Kesehatan, camat, kepala desa, dan pimpinan fasilitas kesehatan memegang peran kunci untuk mengubah situasi ini. Kebijakan harus diarahkan pada perluasan penemuan kasus aktif di lokasi-lokasi risiko tinggi, peningkatan pelaporan SITB oleh fasilitas swasta, penguatan kader desa untuk deteksi dini berbasis komunitas, serta peningkatan cakupan TPT bagi kelompok berisiko. Selain itu, dukungan sosial seperti transportasi pasien, makanan tambahan, hingga insentif kader menjadi langkah penting agar pasien dapat menyelesaikan pengobatan.

BACA JUGA:Pemkot Jambi dan Baznas Bersinergi Salurkan Bantuan Korban Bencana Sumatera

BACA JUGA:Gubernur Al Haris Raih Most Inspiring Tourism Leader

TBC adalah penyakit yang dapat sembuh. Obatnya gratis. Yang belum maksimal adalah kemampuan kita menemukan pasien tepat waktu. Jika Muaro Jambi dapat meningkatkan penemuan hingga 65% dalam dua tahun ke depan, biaya penanggulangan jangka panjang akan berkurang signifikan dan peluang eliminasi TBC tetap terbuka. Namun jika stagnan di bawah 40%, beban ekonomi keluarga akan bertambah, produktivitas tenaga kerja akan menurun, dan anggaran daerah terus terkuras untuk penanganan kasus yang sebenarnya dapat dicegah.

Kini saatnya pemerintah daerah mengambil langkah lebih tegas, berbasis data, berbasis ekonomi kesehatan, dan berpihak pada masyarakat. Semakin cepat kasus ditemukan, semakin cepat pula rantai penularan dapat dihentikan dan semakin besar pula manfaat ekonomi yang bisa diselamatkan bagi keluarga dan daerah. (*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan