JAMBIKORAN.COM - Seniman Palestina Basel al-Maqousi duduk di atas kasur tipisnya sambil menggambar di sebuah buku sketsa besar.
Di sudut kecil sebuah tenda pengungsi dengan dikelilingi oleh jemuran pakaian yang bergelantungan dan kantung-kantung berisi barang kebutuhan sehari-hari.
Dari satu halaman ke halaman berikutnya, tangannya dengan gesit melukis potret keluarga pengungsi yang berkumpul di bawah tenda penampungan mereka.
Goresannya tegas, meninggalkan kekontrasan hitam-putih nan tajam antara hamparan tenda suram di Kota Deir al-Balah di Gaza yang tercabik perang, dan wajah-wajah Palestina segar di depan "rimba" tenda itu.
BACA JUGA:Presiden Joe Biden Positif COVID-19 Saat Kampanye di Las Vegas
BACA JUGA:Ganda Campuran Denmark Christiansen/Boje mundur dari Olimpiade Paris 2024
Para protagonis tampak menunjukkan ekspresi yang tenang, bahkan tegas, sehingga orang luar tidak perlu mengulik makna di balik ekspresi mereka.
Seolah-olah mereka menolak untuk menyerahkan momen bersama yang khidmat tersebut pada serangan lain dari Israel, yang dapat menyobek tirai tipis kedamaian itu kapan saja.
Karya seni yang memikat ini tak hanya menangkap rasa "penangguhan hukuman mati" yang ditimbulkan oleh pertumpahan darah berlarut-larut yang dilakukan Israel terhadap jutaan warga Gaza, tetapi juga memberikan kenangan traumatis bagi al-Maqousi (45), yang juga seorang ayah dari lima anak.
Seniman itu mengatakan kepada Xinhua bahwa dia masih tak percaya Gaza City yang cantik di Gaza tengah itu telah hancur. Sama seperti warga Palestina lainnya di wilayah itu, al-Maqousi pun kehilangan rumah dan kehidupan normalnya.
BACA JUGA:Pelatih Filipina U-19 Josep Ferre Akui Kekuatan Ritme Tinggi Indonesia
BACA JUGA:Menang Telak atas Filipina, Indra Sjafri Tetap Tekankan Pentingnya Konsistensi Tim
"Selama sepuluh bulan berturut-turut, kami (warga Palestina) dipaksa berlomba dengan maut setiap saat karena serangan Israel yang terus berlanjut ... kami berkali-kali mengungsi hanya untuk mencari tempat yang aman. Namun, kami tidak menemukan apa-apa," tuturnya.
"Setiap kali kami dipaksa mengungsi," ujar seniman itu, "Saya kehilangan sebagian emosi manusiawi dan keyakinan saya bahwa suatu hari nanti kehidupan akan kembali seperti sediakala. Kepribadian saya berubah karena tekanan mental yang kami alami." tambahnya.
Sebelum perang, al-Maqousi gemar melukis keindahan alam di Gaza. Namun, perang membuatnya makin waspada dan gelisah, hingga terkadang dia tidak dapat mengendalikan reaksinya. Hal ini membuat orang-orang di sekelilingnya kesal.