Mengikuti asas “no victim, no crime” sekaligus mengikut jejak kejahatan korupsi, maka kerugian negara kemudian ditempatkan sebagai korban (victim).
Dengan menempatkan kerugian negara sebagai korban (victim), maka uang pengganti senilai kerugian negara dapat disejajarkan sebagai korban (victim).
Perkembangan yang semula korban kejahatan sering ditempatkan sebagai manusia, namun kemudian kerugian negara sebagai korban (victim), maka esensi kerugian negara kemudian harus ditambahkan sebagai pidana tambahan.
Sehingga perbuatan terdakwa yang melakukan kejahatan korupsi selain adanya pidana pokok berupa penjara terhadap perbuatannnya, maka kerugian negara juga harus ditambahkan dan kemudian diminta pertanggungjawabkan oleh terdakwa.
BACA JUGA:Misteri Mayat di Eks Galian Batu Bata Belum Terungkap
BACA JUGA:47 Saksi Diperiksa dan Segera Gelar Perkara, Kasus Kematian Santri di Salah Satu Ponpes Tebo
Namun setelah adanya pidana penjara terhadap perbuatan terdakwa, maka terhadap kerugian negara sebagai korban (victim), maka terdakwa harus ditempatkan sebagai pidana tambahan. Sehingga terdakwa juga berkewajiban untuk mengembalikannya.
Namun apabila terdakwa tidak mampu ataupun tidak mau mengembalikan, maka pidana tambahan berupa ganti rugi dapat dikonversi menjadi pidana penjara.
Demikianlah esensi hukum pidana bekerja di ranah kejahatan korupsi. Esensi ini adalah pengecualian dari tindak pidana umum sebagaimana diatur di dalam KUHP.
Perkembangan maupun adanya pengecualian dari KUHP, merupakan kemajuan perkembangan hukum pidana di Indonesia.
BACA JUGA:Sebagian Aturan Impor Ditunda
BACA JUGA:Usulan Kesepakatan Gencatan Senjata di Gaza Realistis
Walaupun KUHP (masih berlaku) peninggalan Belanda, namun perkembangan cepat di ranah penegakkan hukum kemudian menempatkan perkembangan hukum pidana di luar KUHP tetap dapat mengimbangi kejahatan yang begitu cepat.
Advokat. Tinggal di Jambi.