Pasir Putih

Dahlan iskan--

Pun kalau Anda tidak bosan, rasanya saya yang mulai bosan: menulis kisah perjalanan ini. Seperti tidak ada urusan lain yang lebih besar saja. 

Misalnya soal makan siang yang jadi makan bergizi itu: apanya yang salah. Atau heboh soal habib: keturunan Nabi Muhammad atau bukan. 

Benarkah ada yang sengaja menjadikannya isu pertentangan tak kunjung padam di kalangan Islam.  

Begitu banyak kejadian di dalam negeri. Tapi saya di El Paso. Di sebelah pagar perbatasan Amerika Serikat dengan Meksiko.  

BACA JUGA:Pj Wali Kota Jambi Apresiasi Profesionalitas Personel Damkar Peringatan HUT Damkar ke-105 Tahun 2024

BACA JUGA:Kejari Kembalikan Uang Sitaan, Kasus Korupsi Rp 899 Juta Baznas Tanjab Timur

Terus di kawasan itu pun bosan. Sudah berhari-hari yang terlihat hanya gurun. Udaranya pun panas. Jalannya lurus-lurus --membosankan. Hanya seperti menyusuri garis-garis di buku tulis.  

Lalu saya sempat berdebat dengan Janet --sayangnya dia didukung suaminyi: mampir ke Pasir Putih atau tidak. Saya bilang tidak. Mereka bilang harus. 

''Kapan lagi bisa ke sini,'' katanya. 

Perjalanan begitu jauh. Tidak mungkin mereka akan ke sini lagi hanya untuk ke Pasir Putih. Saya bilang, itu tidak penting. Bukan kasus BTS yang kalah sinar dengan kasus timah --sayangnya mereka tidak mengerti apa itu BTS dan timah. 

BACA JUGA:Diduga korban pembunuhan, mayat tanpa kepala akhirnya terindentifikasi

BACA JUGA:Inflasi Merangin Terkendali

Janet yang menang. Apalagi suaminya yang sedang pegang kemudi. Saya masih bilang: "Belum tentu kenyataannya seindah foto-fotonya." 

Rupanya Janet telah melihat Google: betapa menakjubkannya White Sand. Di tengah gurun bersemak dan berladang minyak itu ada satu kawasan yang sangat berbeda. Luasnya mungkin satu kabupaten sendiri --kabupaten di Sulsel. Mencolok. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan