Mau Hubungan Langgeng? Ini Kuncinya Menurut Psikolog Cinta

-IST/Jambi Independent-Jambi Independent j
Banyak pasangan percaya bahwa komunikasi adalah fondasi utama dalam menjaga keutuhan hubungan. Ungkapan “komunikasi adalah kunci” sudah menjadi nasihat klasik yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun, seiring berjalannya waktu dan dinamika hubungan yang semakin kompleks, muncul pertanyaan: apakah komunikasi saja cukup?
Dalam hubungan jangka panjang—baik itu pacaran, pertunangan, maupun pernikahan—tantangan yang dihadapi tak sekadar soal miskomunikasi. Terkadang, dua orang yang sangat komunikatif pun bisa tetap mengalami konflik yang tidak kunjung selesai. Lantas, apa yang sebenarnya menjadi penopang hubungan yang kokoh di tengah badai kehidupan?
*Membuka Tabir di Balik Hubungan yang Tahan Lama
John Gottman, seorang psikolog ternama di bidang relasi dan penulis buku The Marriage Clinic: A Scientifically Based Marital Therapy, memberikan pandangan yang membuka mata. Dalam penelitiannya yang berlangsung selama puluhan tahun, Gottman menyimpulkan bahwa komunikasi memang penting, namun bukan satu-satunya kunci. Yang justru menjadi pilar utama adalah positive sentiment override—atau dominasi perasaan positif dalam relasi.
BACA JUGA:Mindset dan Takdir: Cara Pikiran Membentuk Hidup Kita
BACA JUGA:Bupati Batanghari Resmikan Masjid Nurul Islam di Kelurahan Terusan
Konsep ini merujuk pada kondisi di mana pasangan memiliki simpanan emosi positif yang cukup kuat, sehingga mereka tidak mudah terjebak dalam prasangka buruk atau kemarahan berlebih saat konflik terjadi. Emosi positif yang dibangun dari waktu ke waktu ini akan membuat pasangan cenderung lebih memahami dan memaklumi, dibanding mengkritik atau menghakimi.
“Kalau pasangan punya sentimen positif yang kuat, mereka akan berpikir: ‘Mungkin dia sedang lelah’, atau ‘Dia tidak berniat menyakiti, hanya sedang stres,’” ujar Gottman dalam salah satu wawancaranya.
Dari PDKT ke Realita: Saat Topeng Mulai Lepas
Fase awal hubungan sering kali dipenuhi dengan euforia dan usaha menampilkan diri sebaik mungkin. Pada masa pendekatan (PDKT), kedua pihak cenderung memakai “topeng”—mencoba menjadi versi terbaik dari diri mereka agar bisa diterima. Namun, seiring waktu, topeng itu perlahan dilepas. Di sinilah ujian sebenarnya dimulai.
Kita mulai mengenal sisi asli pasangan. Bukan hanya kelebihannya, tapi juga kelemahan, kebiasaan buruk, bahkan luka masa lalu yang belum sembuh. Dan dari sini akan muncul pertanyaan-pertanyaan reflektif:
“Apakah aku bisa menerima ini semua?”
“Apakah dia bisa mencintaiku dengan semua kekuranganku”
Inilah saat di mana sentimen positif menjadi sangat krusial. Karena tanpa itu, hubungan mudah goyah oleh gesekan kecil.