Penasihat Komisaris

Dahlan iskan--
Saya punya usul baru untuk membantu para wakil menteri. Utamanya setelah Mahkamah Konstitusi melarang wakil menteri merangkap jabatan --tidak bedanya dengan menteri.
Angkatlah wakil menteri sebagai penasihat. penasihat, bukan komisaris. Mestinya bukan termasuk jabatan. Lalu berikanlah honorarium sebagai penasihat. Dengan demikian tambahan gaji wakil menteri datang dari perannya sebagai penasihat.
Prosedurnya pun mudah. Tidak perlu persetujuan pemegang saham. Cukup direksi BUMN mengeluarkan SK pengangkatan penasihat. Di situ disebutkan juga honorariumnya berapa.
Rasanya para wakil menteri akan tetap senang diangkat sebagai penasihat. Apa enaknya jadi komisaris. Di mana gagahnya. Justru jadi komisaris harus ikut bertanggung jawab atas jalannya perusahaan. Termasuk ada risiko hukumnya. Sedang menjadi penasihat bebas risiko. Apalagi kalau dalam praktiknya tidak pernah juga memberi nasihat. Tidak pernah pula diminta memberi nasihat.
BACA JUGA:Bakal Dikelola BUMD dan Koperasi, Sumur Rakyat di Jambi Tercatat Capai 8 Ribu
BACA JUGA:Sudah 300 Hektare Terbakar, DLH Muaojambi Sebut Kualitas Udara Masih Sangat Baik
Di swasta juga dilakukan cara seperti itu. Yang diangkat sebagai penasihat biasanya mantan pejabat tinggi. Atau mantan jenderal berbintang. Sang penasihat tidak pernah memberi nasihat tapi namanya dipakai untuk lobi.
Kelebihan jabatan komisaris hanya satu: kerjanya ringan tapi bisa ikut dapat tantiem. Bila perusahaan berlaba, sebagian laba itu jadi bonus untuk direksi dan komisaris.
Waktu perbincangan kami sampai ke BUMN, soal tantiem juga kami singgung. ”Kami” di situ adalah saya, Wakil Ketua DPR dari Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, Raffi Ahmad, dan direksi Disway. Bulan lalu. Saat Dasco berkunjung ke kantor Disway Jakarta.
Saya sampaikan, di swasta soal tantiem tidak mudah. Tidak boleh sekadar sekian persen dari laba. Sumber tantiem adalah laba yang sudah net-net-net. Netto-nya netto.
"Net" pertama: laba setelah pajak. Tidak boleh dari laba sebelum pajak, apalagi dari laba operasional.
"Net" kedua: laba setelah dikurangi piutang, terutama piutang ragu-ragu. Piutang dibukukan sebagai penghasilan yang mempengaruhi besarnya laba. Padahal piutang belum tentu berhasil ditagih.
"Net" ketiga: saya lupa. Sudah lebih 15 tahun tidak ngurusi laba. Pokoknya, tantiem diberikan ketika direksi benar-benar menghasilkan laba dari usahanya. Bukan dari bunga deposito dan sebangsanya. Inilah yang saya maksud dengan "net" ketiga: laba dikurangi hasil non operasional. Terlalu enak direksi kalau ikut dapat tantiem dari hasil non operasional.
Apa reaksi Dasco?
Saya tidak menyangkanya. Begitu cepat ia berpikir untuk kemudian langsung menukas: "komisaris BUMN jangan ikut dapat tantiem".
Kami pun tertawa keras mendengar respons spontan tersebut. Dasco masih berusaha memperkuat pernyataannya tadi. "Tidak diberi tantiem pun masih banyak yang mau jadi komisaris," katanya.
Saya pun ragu dengan usulan saya soal pengangkatan wamen jadi penasihat tadi. Jangan-jangan juga tidak boleh. Maka saya hubungi dua mantan ketua Mahkamah Konstitusi: Prof Dr Jimly Assiddique dan Prof Dr Moh. Mahfud MD.
Pertanyaan yang saya ajukan sama. Apakah "penasihat" itu jabatan. Yang dilarang itu menerima jabatannya atau menerima gajinya. Apakah boleh jadi komisaris tapi tidak menerima gaji.
"Wamen menjadi penasihat BUMN menurut saya boleh. Asal tidak mendapat honorarium tetap," ujar Prof Mahfud. "Honorariumnya tergantung pada kehadiran saat rapat," tambahnya.
Menurut Prof Mahfud, penasihat itu bukan jabatan struktural ketatapemerintahan. "Tetapi akan menjadi persoalan jika penasihat itu distrukturkan di BUMN," katanya. "Yang sekarang nyata-nyata dilarang adalah wamen menjadi komisaris BUMN," katanya.
Prof Jimly juga memberikan jawaban. Saya kutip lengkap saja sebagai berikut: "Menteri-wamen, gubernur-wagub, bupati-wabup adalah satu institusi jabatan negara. Komisaris organ resmi di PT atau BUMN. Menurut UU masing-masing tidak boleh dirangkap. Bukan saja soal gaji rangkap dan double counting tapi juga soal benturan kepentingan. Makanya dilarang. Bahkan, kepala daerah menurut UU Yayasan juga tidak boleh jadi pengurus, pengawas atau pun pembina. Agar tidak terjadi benturan kepentingan.
Penasihat presiden diatur dalam UU Wantimpres tidak boleh dirangkap sebagai pengurus parpol dengan maksud yang sama.
Mestinya jabatan di perusahaan juga tidak boleh tapi sering dilanggar. Kalau penasihat perusahaan tentu bukan jabatan tapi tetap terkait dengan benturan kepentingan. Misalnya menteri BUMN tapi menjabat juga sebagai penasihat di perusahaan swasta yang bermitra dengan BUMN. Pasti ada benturan kepentingan yang harus dilarang.
Berarti saya harus membatalkan usulan agar wamen diangkat sebagai penasihat di perusahaan-perusahaan BUMN. (Dahlan Iskan)