KMMIH UGM Desak Pembahasan RUU Perampasan Aset Segera Dilakukan

Barang bukti uang kasus tindak pidana korupsi ekspor minyak sawit mentah tahun 2022 di Gedung Bundar, Kejaksaan Agung RI, Jakarta. -ist-

JAKARTA – Keluarga Mahasiswa Magister Ilmu Hukum (KMMIH) Universitas Gadjah Mada menilai pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset sudah sangat mendesak untuk segera diselesaikan.

Hal ini disampaikan langsung oleh Presiden KMMIH UGM Kampus Jakarta, Razikin, dalam pernyataannya di Jakarta.

Menurut Razikin, Indonesia memerlukan instrumen hukum yang lebih kuat untuk menindak kejahatan ekonomi seperti korupsi dan pencucian uang.

Salah satu langkah penting adalah mempercepat pembahasan RUU Perampasan Aset yang hingga kini belum menemui titik akhir.

BACA JUGA:Wali Kota Jambi Tinjau Balita Hidrosefalus, Pastikan BPJS dan Bantuan Aktif

BACA JUGA:Tuntutan Rakyat Meningkat: Gaji DPR, Militer di Sipil, hingga UU Ciptaker Disorot

“RUU ini bukan hanya soal menghukum pelaku, tapi lebih penting lagi, untuk mengembalikan aset keuangan negara yang dirampas oleh kejahatan,” ujar Razikin.

Kelemahan Hukum yang Berlaku Saat Ini

Selama ini, kata Razikin, proses hukum terhadap pelaku korupsi sering kali tidak dibarengi dengan pemulihan kerugian negara secara maksimal.

Hal ini disebabkan hukum yang berlaku belum mengakomodasi mekanisme perampasan aset tanpa vonis pidana (non-conviction based confiscation).

BACA JUGA:KPK Sita USD 1,6 Juta dalam Kasus Dugaan Korupsi Kuota Haji yang Libatkan Mantan Menag Yaqut

BACA JUGA:Baru Tugas 5 Bulan, Diplomat Indonesia di Peru Tewas Ditembak Saat Bersepeda di Lima

Ia menambahkan bahwa dasar pengesahan RUU ini kuat secara konstitusional. Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 23 UUD 1945 mewajibkan negara memiliki perangkat hukum yang mampu menjaga keuangan negara dan menjamin keadilan.

“Jika aset hasil kejahatan tidak dirampas, maka negara telah lalai menjalankan amanat konstitusi,” tegasnya.

Kewajiban Internasional dan Celah Regulasi

Selain itu, Indonesia juga memiliki kewajiban internasional melalui ratifikasi Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) 2003.

BACA JUGA:Keluarga Ungkap Acil Bimbo Wafat Usai Melawan Komplikasi Kanker

BACA JUGA:Demo Rusuh Akibat Gaji DPR, Jakarta dan Daerah Alami Kerusakan Parah

Konvensi tersebut mendorong negara anggota memiliki regulasi yang memungkinkan penyitaan aset hasil kejahatan, termasuk tanpa menunggu putusan pengadilan.

Razikin juga menyoroti bahwa meski Indonesia sudah memiliki UU Tipikor (UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001) dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No. 8/2010), kedua undang-undang itu tetap memerlukan putusan pidana sebagai syarat perampasan aset.

“RUU ini justru hadir untuk menutup celah hukum yang selama ini dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan ekonomi,” jelasnya.

Pentingnya Kepastian Ekonomi dan Komitmen Politik

BACA JUGA:Polresta Jambi Bebaskan Empat Pendemo Diduga Provokator Usai Aksi di DPRD Provinsi Jambi

BACA JUGA:Mendagri Serahkan Rumah untuk Keluarga Almarhum Affan Kurniawan, Ojol yang Tewas Ditabrak Rantis Brimob

Dari sisi ekonomi, RUU Perampasan Aset diyakini akan memberi kepastian hukum bagi negara dalam menyelamatkan potensi kerugian triliunan rupiah.

Aset yang berhasil dikembalikan ke kas negara bisa dimanfaatkan untuk sektor publik seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Razikin pun mendorong DPR dan pemerintah untuk memanfaatkan momentum politik saat ini guna menunjukkan komitmen dalam memerangi korupsi.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan