Pongki Barata Soroti Tantangan Royalti Musik

Pongki Barata -Ist/Jambi Independent-Jambi Independent
Jakarta - Musisi sekaligus pencipta lagu Pongki Barata menyampaikan sejumlah tantangan terkait sistem royalti musik di Indonesia saat menghadiri pembukaan Konferensi Musik Indonesia (KMI) 2025 yang digelar di Jakarta.
Menurut Pongki, KMI merupakan inisiatif penting yang harus didukung secara serius oleh berbagai pihak, termasuk lintas kementerian, agar industri musik nasional bisa berkembang secara berkelanjutan.
“Harus dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Karena banyak aspek yang terlibat, dukungan dari semua lini menjadi kunci kesuksesan industri musik Indonesia,” ujarnya.
Salah satu persoalan utama yang diangkat Pongki adalah transparansi dalam pendistribusian royalti. Ia menilai bahwa selama ini belum ada sistem data yang terintegrasi dan akurat untuk menjelaskan rincian pembayaran royalti kepada para musisi.
BACA JUGA:Megawati Hangestri Perkuat Bank Jatim Di Final Four Livoli Divisi Utama 2025
BACA JUGA:Fabian Glen dan Ivana Lasama Pimpin Klasemen JAPFA Chess Festival 2025
“Pihak yang berwenang harus bisa menjelaskan secara jelas, kenapa angka yang dibayarkan segitu. Kalau tidak ada kesinambungan data dari semua lini, maka tak ada penjelasan yang bisa dipercaya,” tegasnya.
Dalam sesi konferensi panel yang digelar Kamis (9/10), Pongki juga dijadwalkan menjadi pembicara. Ia akan mengusulkan transformasi sistem pencatatan lagu (log sheet) menjadi basis data digital guna meningkatkan transparansi dan akurasi pelaporan royalti.
Selain itu, ia menyoroti pentingnya pembenahan metadata lagu. Kesalahan penulisan nama penyanyi atau pencipta di platform digital, menurutnya, dapat menyebabkan pendapatan royalti tidak sampai ke orang yang tepat.
“Misalnya nama saya bisa ditulis Pongky pakai Y atau Pongki pakai I. Kalau tidak ada sistem pusat data yang valid, tidak akan nyambung. Seperti tidak punya KTP, ya uangnya nggak sampai,” jelasnya.
Lebih jauh, Pongki juga menyinggung rendahnya kepercayaan sejumlah penyelenggara event terhadap Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), yang menjadi salah satu penghambat utama dalam pemungutan royalti.
“Ini juga soal trust. Banyak penyelenggara enggan membayar royalti karena mereka tidak percaya apakah uang yang dibayarkan benar-benar sampai ke pencipta lagu,” ungkap Pongki, mengutip pernyataan langsung dari salah satu penyelenggara besar yang pernah ia temui.
Pongki berharap KMI 2025 menjadi momentum untuk membenahi sistem royalti musik secara menyeluruh, mulai dari pencatatan, distribusi, hingga komunikasi antara pelaku industri dan lembaga pengelola hak cipta.
“Kita perlu sistem yang adil, transparan, dan bisa dipercaya. Tanpa itu, industri musik akan terus menghadapi masalah yang sama dari tahun ke tahun,” pungkasnya. (*)