Pers Berperan Penting Cegah Kekerasan Berbasis Gender
Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati saat diwawancarai wartawan.-antara-
JAKARTA - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menekankan bahwa media dan pers memiliki peran penting sebagai katalisator untuk mempercepat pemahaman publik tentang pencegahan kekerasan berbasis gender.
"Kerja sinergi dan kolaborasi menjadi pilar atau kuncinya termasuk dengan media dan pers. Peningkatan kapasitas media dan pers terkait pemahaman tentang hak-hak perempuan dan juga anak harus terus dilakukan," kata Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA Ratna Susianawati dalam keterangan, di Jakarta, Rabu.
BACA JUGA:Minta Selaraskan Program Pembangunan, Pertemuan TJSLDU dan Pemkab Muaro Jambi
Menurut dia, berbagai bentuk kekerasan berbasis gender yang terjadi di Indonesia menjadi tantangan bagi semua pihak.
Kekerasan berbasis gender tidak hanya terjadi di ranah offline, tetapi ranah online kini juga menjadi medium kekerasan berbasis gender dengan korban paling banyak adalah kelompok perempuan dan anak.
"Kekerasan berbasis gender adalah kejahatan serius yang harus ditangani dengan serius. Ikhtiar pemerintah tidak pernah putus untuk melindungi perempuan dan anak," kata Ratna Susianawati.
BACA JUGA:Puluhan Nakes RSUD Ahmad Ripin Kembali Demo, Tak Puas Jawaban Direktur Terkait Penerimaan CPNS
Sementara itu, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menuturkan ada satu tugas penting pers dalam hal distribusi berita, yakni mampu menilai dampak dari pemberitaan.
"Jurnalis tidak hanya bebas merdeka dalam mencari informasi dan fakta-fakta sebagai sumber berita, mengolah, menyimpan data-datanya, namun ketika menyebarkan juga punya tanggung jawab terhadap dampak (dari tulisannya)," kata Ninik Rahayu.
Ia menekankan pentingnya peran pers mengedepankan prinsip perlindungan korban dan responsif gender dalam setiap pemberitaan kasus kekerasan.
BACA JUGA:Ditangkap di Musi Banyuasin, Pembunuh LC di Kota Jambi
Temuan penelitian Dewan Pers tahun 2022 mencatat 87 persen yang melakukan pelanggaran kode etik itu merupakan media online, di antaranya menyebutkan identitas korban, mendiskriminasi dengan memberikan stereotip terhadap perempuan, pelabelan, atau menyalahkan korban. (ANTARA)